Selamat Datang di Koharudin Blog's ...
Berbagi Ilmu Yang Bermanfaat itu Indah dan Berpahala

Pengunjung Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 27 Desember 2011

Pembelajaran Materi Hukum dan Penegakan Hukum

MAKALAH
PEMBELAJARAN MATERI HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM

Di Susun dalam rangka memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Materi dan Pembelajaran PKn di SD
Dosen: Muqqodas, M. MPd.

Oleh :
    Nama           : Koharudin
    NIM            : 091641307
    Kelas           : D.2 Konversi
    Semester      : VII (Tujuh)







FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
PROGRAM STUDI S1 PGSD
Jl. Tuparev No. 70 Cirebon




KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ‘Pembelajaran materi Hukum dan Penegakan Hukum”. Makalah ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah Materi dan Pembelajaran PKn di SD
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Bapak Muqoddas, M. MPd., selaku dosen mata kuliah Materi dan Pembelajaran PKn di SD yang telah membimbing penulisan makalah ini;
2.      Rekan-rekan mahasiswa UMC Kelas D2 Konversi yang telah memberikan motivasi selama pembuatan makalah ini;
3.      Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun untuk pembuatan karya tulis ilmiah di masa yang akan datang.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Cirebon, 24 Desember 2011
Penulis

Koharudin


DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ………………………..……………………………………..
i
Daftar Isi ……………………………………………………………………..
ii
BAB I       : DEFINISI DAN CARA PEMBEDAAN HUKUM
1
A.     Definisi Hukum ………………………………………………
1
B.     Keragaman Cara Pembedaan Hukum ………………………..
1
BAB II     :  UNSUR-UNSUR HUKUM DAN KEBERADAAN HUKUM
                    DI MASYARAKAT ……………………………………………

3
A.     Unsur-Unsur Hukum ………………………………………...
3
B.     Keberadaan Hukum di Masyarakat ………………………….
4
C.     Norma-norma di Masyarakat ………………………………...
5
BAB III    : SUMBER HUKUM ……………………………………………..
6
A.     Pengertian Sumber Hukum …………………………………..
6
B.     Sumber Welbron dan Kenbron ……………………………….
6
C.     Sumber Hukum Materiel dan Formil ………………………...
6
BAB IV    : PENEGAKAN HUKUM ………………………………………..
9
A.     Pengertian Penegakan Hukum ……………………………….
9
B.     Penegakan Hukum Obyektif …………………………………
10
C.     Aparat Penegak Hukum ……………………………………..
11
KESIMPULAN ………………………………………………………………
20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
21


BAB I
DEFINISI DAN CARA PEMBEDAAN HUKUM


A.     Definisi Hukum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
Menurut Notohamidjojo bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam masyarakat.
Pemberian arti tentang hukum  disesuaikan dengan konteksnya atau definisi yang bersifat kontekstual, sehingga  setiap bahasan tentang hukum dapat disesuaikan dengan tujuan dan konteksnya sebagaimana dikemukakan oleh Purnadi dan Soerjono berikut ini :
1.       Hukum sebagai ilmu pengetahuan
2.       Hukum sebagai disiplin
3.       Hukum sebagai norma atau kaidah
4.       Hukum sebagai tata hukum
5.       Hukum sebagai petugas
6.       Hukum sebagai keputusan penguasa
7.       Hukum sebagai proses pemerintahan
8.       Hukum sebagai sikap tindak yang teratur
9.       Hukum sebagai jalinan nila-nilai

B.     Keragaman Cara Pembedaan Hukum
Hukum di samping memiliki keragaman arti juga memiliki keragaman dalam pengaturannya sehingga dikenal bidang-bidang hukum. Di bawah ini dikemukakan pembedaan hukum menurut menurut kriteria yang umum digunakan sebagai berikut :
1.      Dilihat dari segi eksistensi atau waktu.
a.       Ius constituendum adalah kaidah hukum yang dicita-citakan.
b.      Ius constitutum adalah kaidah hukum yang berlaku pada masa kini dan tempat tertentu.
2.      Dilihat dari segi wilayah berlaku.
a.       Hukum alam adalah hukum yang bersifat abadi dan berlaku di seluruh dunia yang timbul dari alam dan tidak dibuat oleh manusia.
b.      Hukum positif adalah kaidah hukum yang berlaku pada masa kini dan di tempat tertentu.
3.      Dilihat dari segi sifat kaku dan fleksibel
a.       Hukum imperatif adalah kaidah hukum memaksa yang secara apriori harus ditaati.
b.      Hukum fakultatif adalah kaidah hukum yang tidak secara apriori mengikat atau tidak wajib dipatuhi sehingga ada kebebasan dalam membentuk hukum yang sebanding antarpihak.
4.      Dilihat dari segi isi
a. Hukum substantif adalah kaidah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan subyek-subyek hukum.
b. Hukum ajektif adalah kaidah yang memberikan pedoman untuk menegakkan dan mempertahankan hukum substantif.
5.      Dilihat dari segi bentuk
a.       Hukum tidak tertulis adalah kaidah hukum yang tidak dalam bentuk tertulis tetapi hidup dalam pergaulan masyarakat (hukum adat).
b.      Hukum tercatat adalah kaidah hukum tidak tertulis yang tercatat atau dicatat oleh pemimpin formal, informal, dan para sarjana dalam penelitian.
c.       Hukum tertulis adalah kaidah hukum dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh negara (Undang-undang, traktat).











BAB II
UNSUR-UNSUR HUKUM DAN KEBERADAAN HUKUM DI MASYARAKAT

A.     Unsur-Unsur Hukum
Didalam hukum terdapat unsur-unsur yang merupakan refleksi dari manusia dan masyarakat. Menurut Purnadi dan Soerjono, unsur-unsur hukum tersebut adalah :
1.      Unsur idiel yaitu unsur yang berkaitan dengan ide, gagasan, dan pemikiran manusia tentang hukum. Unsur idiel terdiri dari :
a.       Hasrat susila.
b.      Rasio manusia.
2.      Unsur riel yaitu unsur yang berkaitan dengan hal-hal konkrit atau nyata. Unsur riel terdiri dari :
a.       Manusia.
b.      Kebudayaan material.
c.       Lingkungan alam.

Kedua unsur tersebut bersumber pada manusia sebagai unsur utama yang merupakan perpaduan dari unsur rohani dan jasmani yang tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. Hukum merupakan refleksi kehendak manusia dalam hidup bersama secara baik dan benar, sehingga keberadaan hukum senantiasa dipelihara dan dikembangkan. Oleh karena itu, setiap orang cenderung melakukan penilaian dan pertimbangan dalam menentukan pilihan. Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat untuk menetapkan sesuatu yang benar, yang baik dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Willem van der Velden membedakan nilai menjadi dua diantaranya :
1.    Standar Penilaian (standar of valuation) yaitu ukuran yang dapat digunakan terhadap suatu objek yang dapat dinilai dengan ukuran jelas dan pasti. Misalnya satuan ukur berat, luas, dan sebagainya.
2.    Situasi yang dapat dinilai (valuable situation) yaitu situasi yang digunakan terhadap objek berkenaan dengan peristiwa yang sulit diberikan penilaian.

Sementara menurut Notonagoro membagi nilai menjadi tiga yaitu :
1.      Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
2.      Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan aktivitas.
3.      Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Selanjutnya menurut Notonagoro nilai kerohanian terbagi menjadi empat diantaranya :
1.      Nilai kebenaran berasal dari rasio atau cipta manusia.
2.      Nilai keindahan berasal dari rasa manusia.
3.      Nilai moral berasal dari kehendak atau karsa manusia.
4.      Nilai religius berasal dari kepercayaan atau keyakinan.

B.     Keberadaan Hukum di Masyarakat

Hukum dibutuhkan oleh manusia karena hukum memiliki arti dan fungsi yang penting bagi kehidupan manusia itu sendiri. Sulit rasanya membayangkan apabila suatu masyarakat tanpa adanya hukum. Mungkin akan terjadi kehancuran dalam keutuhan masyarakat. Arti pentingnya hukum bagi manusia dan masyarakat setidaknya dapat dilihat dari dua aspek. Pertama dengan melihat pada potensi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa. Kedua, melihat kepada potensi hukum untuk mempersatukan segenap unsur yang beragam di masyarakat.
Sejak zaman Yunani manusia dikatakan sebagai zoon politicon atau mahkluk politik yaitu makhluk yang selalu hidup bersama dengan manusia lain secara berorganisasi. Selain itu juga manusia cenderung mengadakan interaksi dengan manusia lain agar kebutuhan dasar dan yang lainnya dapat terpenuhi. Kebutuhan dasar digunakan sebagai gagasan, motivasi, dan tujuan bagi setiap orang untuk mencapainya. Oleh karena itu, hukum akan terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga kebutuhan dasar lainnya dapat terpenuhi. Menurut Maslow ada lima kebutuhan dasar yaitu :
1.      Pangan, sandang, papan.
2.      Keselamatan diri dan pemilikan
3.      Harga diri.
4.      Aktualisasi diri.
5.      Kasih sayang.

Hukum sebagai kebutuhan dasar maka hukum wajib diselenggarakan dan dipatuhi oleh seluruh anggota atau warga masyarakat. Untuk menyelenggarakan hukum diperlukan adanya lembaga yang didalamnya terdapat kumpulan orang atau kelompok yang diserahi tugas khusus untuk itu.
Satjipto Rahardjo mengemukakan adanya empat ciri dari hukum sebagai institusi social yaitu :
1.    Stabilitas artinya hukum harus menjadi kebutuhan yang tetap pada setiap kebutuhan.
2.    Kerangka sosial artinya hukum dimasukkan ke dalam kerangka social tentang skala kebutuhan sosial yang dipriotitaskan untuk dipenuhi.
3.    Norma-norma artinya memuat tentang pedoman dan aturan yang digunakan dalam menyelenggarakan kebutuhan social yang bersangkutan.
4.    Jalinan antarinstitusi artinya setiap kenutuhan dasar yang sudah dirumuskan ke dalam norma-norma harus ada jaringan dan jalinan hubungan antarinstitusi.

C.     Norma-Norma di Masyarakat

Keberadaan norma sebagai pedoman, acuan, dan patokan dalam hidup bermasyarakat akan selalu disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Norma terbagi menjadi beberapa bagian yaitu diantaranya :
1.    Norma agama adalah norma yang lebih ditujukan untuk kesempurnaan hidup pribadi atau sikap bathin dalam hubungan dengan Tuhan YME. Dengan demikian, maka norma dan sanksi agama bersumber dari Tuhan YME.
2.    Norma kesusilaan adalah norma yang bertujuan untuk kesempurnaan pribadi maka tekanannya pada sikap batin yang bersumber dari dalam diri sendiri berupa kata hati, hati nurani, suara hati atai suara batin.
3.    Norma sopan santun adalah norma yang bertujuan agar hidup lebih menyenangkan dalam hidup bersama tekanannya pada perilaku yang lebih menyenangkan.
4.    Norma kebiasaan adalah norma yang terbentuk karena adanya perilaku yang tetap dan berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama.
5.    Norma hukum adalah norma yang bertujuan untuk kedamaian dalam hidup antarpribadi atau bermasyarakat yang menekankan pada perbuatan lahir.



BAB III
SUMBER HUKUM

A.     Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum dapat diartikan sebagai asal muasal dan tempat mengalir atau keluarnya hukum yang dapat digunakan sebagai tolak ukur, criteria, dan sarana untuk menentukan isi, substansi, materi, dan keabsahan.

B.     Sumber Hukum Welbron dan Kenbron
Sumber hukum welbron adalah sumber yang menunjuk kepada badan atau lembaga yang berwenang mengeluarkan hukum atau yang menyebabkan terjadinya hukum. Sedangkan sumber hukum Kenbron adalah sumber yang menunjuk kepada tempat atau bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengenal atau mengetahui dimana hukum itu ditempatkan dalam lembaran negara.

C.     Sumber Hukum Materiel dan Formil
Sumber hukum materiel adalah sumber yang menentukan isi dari peraturan hukum, yang dapat bermacam-macam misalnya sejarah, sosiologi, ekonomi, filosofi, dan sebagainya. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber yang menetukan bentuk, cara, proses, dan berlakunya suatu peraturan hukum yang dilakukan secara formil.
Sumber hukum formil pada hukum tertulis diantaranya :
a.    Undang-undang adalah peraturan tertulis yang isinya mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku secara umum.
b.    Kebiasaan adalah peraturan yang memuat perilaku yang tetap, teratur, dan dalam waktu yang relatif lama. Ada dua syarat timbulnya hukum kebiasaan diantaranya :
1.      Unsur materiel atau riel ialah adanya perilaku yang rutin dan tetap dilakukan terus dalam waktu yang relatif lama.
2.      Unsur psycologis ialah kesadaran yang bersifat umum. 
c.    Traktat adalah perjanjian internasional yang dilakukan oleh dan antarnegara. Perjanjian pada hakikatnya terdapat tiga unsur diantaranya :
1.    Essentialia yaitu unsur mutlak (subyek dan obyek) yang harus ada dalam perjanjian. Misalnya harga adalah essentialia dalam jual beli.
2.    Naturalia yaitu unsur yang melekat walaupun tidak secara ekplisit tetapi implicit diangggap ada dalam perjanjian. Misalnya jaminan penjual atas cacat tersembunyi.
3.    Accidentalia yaitu ynsur yang harus dimuat secara tegas dalam perjanjian. Misalnya tempat tinggal yang dipilih.
d.    Yurisprudensi adalah putusan hakim atau putusan pengadilan (lembaga yang menegakkan hukum secara konkrit berkenaan dengan adanya tuntutan hak). Yurisprudensi terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1.    Yurisprudensi tetap, yaitu keputusan hakim yang digunakan sebagai dasar oleh hakim lain yang merupakan rangkaian keputusan yang serupa.
2.    Yurisprudensi tidak tetap yaitu keputusan hakim yang digunakan oleh hakim lain sebagai pedoman karena sependapat.
e.    Doktrin adalah ajaran dari seorang pakar yang membawa pengaruh dan pengikut sehingga membentuk aliran.
­
Asas-asas hukum dapat dibedakan pada dua tingkatan yaitu asas-asas  hukum umum dan asas-asas hukum khusus. Asas-asas hukum umum yang harus diperhatikan dalam perundang-undangan diantaranya :
1.    Asas lex superior derogat legi inferiori yaitu UU yang lebih tinggi tingkatannya akan didahulukan berlakunya daripada UU yang lebih rendah dan sebaliknya.
2.    Asas lex specialis derogat legi generali yaitu UU yang bersifat khusus didahulukan berlakunya daripada UU yang bersifat umum.
3.    Asas lex posterior derogat legi priori yaitu UU yang lebih baru atau yang terbit didahulukan daripada UU yang terdahulu.
4.    Asas lex neminem cogit ad impossobilia yaitu UU tidak memaksa sesorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan atau sering disebut asas kepatutan.
5.    Asas lex perfecta yaitu UU tidak saja melarang suatu tindakan tetapi juga menyatakan tindakan terlarang itu batal.
6.    Asas non retroactive yaitu UU tidak dimaksudkan untuk berlaku surut karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
7.    Asas keseimbangan kepentingan yaitu keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
8.    Asas kesamaan yaitu kesamaan didepan hukum artinya setiap orang di depan hukum harus diperlakukan dan diberikan kedudukan yang sama dan tidak boleh dibedakan berdasarkan suku, ras, agama, dan antargolongan.
9.    UU sebagai sarana yang maksimal untuk mencapai kesejahteraan.

Selain itu ada juga asas-asas hukum khusus pada bidang hukum tertentu misalnya dalam hukum pidana dikenal asa praduga tak bersalah yaitu seseorang belum dapat dinyatakan bersalah sebelum terbukti kesalahannya dalam suatu keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.



























BAB IV
PENEGAKAN HUKUM

A.  Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari segi subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini pengertiannya mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keaadilan yang terkandung di dalam bunyi atau formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena itu, penerjemahan kata “Law Enfocment” ke dalam bahaasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “ The Rule Of Law” atau dalam istilah “The Rule of Law and Not Of A Man” Versus itilah “The Rule By Law” yang berarti “The Rule Of  Man By Law” dalam istilah “ The Rule Of Law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu digunakan istialah “The Rule Just Of Law”. Dalam istilah sebaliknya adalah “The Rule By Law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

B.  Penegakan Hukum Obyektif
Seperti disebut dimuka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup  di dalam masyarakat. Dalam bahasa tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ”Law Enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materiil, diistilahkan dengan penegakakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ”Court Of Law” dalam arti pengadilan hukum dan ”Court Of Justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula , Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ”Supreme Court Of Justice”.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata.
Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendsar. Karena itu secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam kesimbangan konsep hukum dan keadilan.
Dalam setiap hubungan hukum terkandung didalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi Manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.
Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui oragn-orgna negara, seringkali melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karen itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan pelindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional Democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat unutk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagipula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ”hak asasi manusia”. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesdaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.

C.  Aparat Penegak Hukum
Setiap orang dalam pergaulan di dalam masyarakat harus memperhatikan dan melaksanakan (mentaati) peraturan hukum, agar tercipta kehidupan yang tertib dan tenteram. Kalau terjadi pelanggaran hukum terhadap peraturan hukum yang berlaku, maka peraturan yang dilanggar itu harus ditegakkan.
Penegakkan hukum dalam masyarakat negara modern dewasa ini telah diorganisir sedemikian rupa, sehingga orang yang menjadi korban atau menderita kerugian (materi maupun immaterial) akibat pelanggaran hukum tersebut tidak menyelesaikan dengan caranya sendiri, tetapi dengan cara tertentu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk menghidari kekacauan yang justru timbul karena masing-masing anggota masyarkat bertindak menurut caranya sendiri.
Setiap pelanggaran hukum materiil menimbulkan perkara (perdata-pidana dan tata usaha negara). Perkara-perkara yang terjadi karena adanya pelanggaran hukum ini, tiodak boleh disesuaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrechting). Melainkan dengan cara yang telah diatur di dalam hukum formil (hukum acara). Sebab sebagaimana yang telah diuraikan, hukum formil adalah perturan-peraturan hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya menjamin dtegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil.
Aparat penegak hukum yang berkaitan dengan proses penegakan hukum, tidak selalu sama untuk setiap jenis pelanggaran ukum, yang menimbulkan berbagai macam perkara tersebut diatas. Dalam proses penyelesaian perkara pidana untuk menegakkan hukum pidana aparat penegak hukum yang terkait dalam kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lemabaga pemasyarakatan. Instansi-instansi penegak hukum ini kendatipun mempunyai tugas yang sama, namun satu sama lain berdiri sendiri, dan mempunyai tugas, wewenang, dan tugas masing-masing.
Kemudian selain aparat penegak hukum tersebut di atas, untuk proses penyelesaian ”tindak pidana khusus”. Ada pejabat pegawai negeri sipil, yang diberi wewenang oleh undang-undang, untuk melakukan tindakan-tindakan yang dimungkinkan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan. Pegawai pejabat sipil yang dimaksudkan pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi, dan pejabat kehutanan.
Dalam proses penyelesaian perkara perdata, yang merupakan perkara kepentingan pribadi, maka aparat penegak hukum yang menanganinya hanyalah hakim dan aparat pengadilan (panitera dan juru sita atau penggantinya). Aparat kepolisian hanya berperan untuk menjaga keamanan, manakala bila perlu bersama-sama dengan anggota TNI lainnya, supaya pengadilan dapat menyelesaian perkara dengan sebaik-baiknya.
Hakim merupakan aparat penegak hukum  yang selalu terkait dalam proses semua perkara, bahkan hakimlah yang memberikan putusan terhadap setiap perkara. Karena itulah sering dikatakan, bahwa hakim dan pengadilan merupakan benteng terakhir untuk menegakkan hukum dan kedilan.
Berikut ini  diuraikan garis besar menegani kekuasaan kehakiman di Indonesia, ketentuan dasar yang mengatur kekuasaan kehakiman di Indonesia tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 24 dan 25 yang menentukan sebagai berikut:
Pasal 24 :
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukumdan keadilan.

2) Kekuasaan kehakiman dilakuakn oleh sebuah Mahkamh Agung dan lain-lain Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh Mahkamah konstitusi.

3) Badan Peradilan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 25 :
Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dalam undang-undang.

Pasal  24 dan 25 UUD 1945 tentang: ”Kekuasaan Kehakiman” itu diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman serta diubah dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam pasal 10 UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya. Meliputi; (1) badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, (2) lingkungan peradilan agama; (3) lingkungan peradilan militer dan; (4) lingkungan peradilan tata usaha negara.

Dengan demikian maka kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh 4 (empat) macam pengadilan, yang semuanyaberpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan agama tertinggi. Masing-masing badan pengadilan tersebut mempunyai susunan dan kekuasaan yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Yaitu (1) Badan Peradilan Umum diatur dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU no. 8 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 2 tahun 1986 Peradilan Umum.; (2) Badan Peradilan Agama diatur oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1989; (3) Badan Perailan Militer diatur Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1950 yang dengan Undang-Undang No.5 tahun 1950ditetapkan sebagai Undang-Undang Federal dan selanjutanya diatur dalam UU No.31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer; dan (4) Badan Perailan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU no. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Masing-masing peradilan dalam lingkungan badan-badan pengadilan tersebut mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang merupakan kompetensi absolut. Karenanya, apa yang merupakan kompetensi suatu badan peradilan secara mutlak tidak mungkin dilakukan oleh badan peradilan yang lain.

1.  Pengadilan Umum
Pasal 2 UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum menyatakan, ”Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaaan bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.”
Penjelasan dari pasal tersebut menyatakan :
Disamping peradilan umum yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumya mengenai perkara perdata dan pidana, pelaku kekuasaan kehakiman lain yang lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat tertentu yaitu perdian agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

Pengadilan dalam lingkungan badan pengadilan umum, mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk (warga negara dan orang asing). Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum ini terdiri dari pengadilan negeri yang memeiksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, dan pengadilan negeri yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding. Pengadilan negei berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten, sedang pengadilan tinggi berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.

2.  Pengadilan Agama
Pengadilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan  bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Perkara-perkara tersebut meliputi antara lain: (1) perkawinan; (20 kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (3) wakaf dan shadaqah.
Perkara perkawinan yang menjadi wewenang peradilan agama meliputi: pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan pemutusan perkawinan.
Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan agama mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara perdata khusus bagi orang-orang yang beragama Islam yaitu perkara-perkara perkawinan, perceraian, pewarisan, dan wakaf.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama terdiri dari pengadilan agama yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama yang memeriksa dan memutuskan perkara di tingkat banding. Pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibu kota kabupaten. Sedangkan pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota propinsi.

3.  Pengadilan Militer
Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan militer mempunyai wewenang untuk: (1) menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit anggota TNI/POLRI, atau yang dipersamakan berdasarkan Undang-Undang, anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang. Seseorang yang tidak termasuk golongan tersebut tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan lingkungan peradilan militer; (2) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha TNI/POLRI.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ini terdiri dari mahkamah militer, mahkamah militer tinggi, mahkamah militre utama, dan mahkamah militer pertempuran. Mahkamah militer memutuskan dan memeriksa (kejahatan atau pelanggaran) tingkat pertama yang terdakwanya anggota TNI/POLRI yang berpangkat kapten ke bawah. Kemudian mahkamah militer tinggi memiliki kekuasaan: (1) memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama perkaraperkara (kejahatn atau pelanggaran), yang terdakwanya adalah salah seorang terdakwanya yang pada waktu melakuakan tindakan pidana itu berpangkat mayor ke atas dan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha angkatan bersenjata (TNI/POLRI); (2) memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding segala pekara yang telah diputus oleh mahkamah militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding; dan (3) memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan militer dan mahkamah militer tinggi ditetapkan oleh menteri kehakiman bersama-sama menteri pertahanan dan keamanan. Sedangkan mahkamah militer utama memiliki kewenangan antara lain: (1) memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama perkara-pekara (kejahatan atau pelanggaran) yang berhubungan dengan jabtan yang dilakukan oleh :
1.      Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan
2.      Panglima Besar TNI
3.      Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad0, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal), dan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau), dan
4.      Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)

Selain mahkamah militer utama juga memeriksa dan memutuskan pada tingkat banding segala perkara yang telah diputus oleh mahkamah militer tinggi pada tingkat pertama yang dimintakan pemeriksaan ulangan mahkamah militer utama berkedudukan di tempat kedudukan Mahkamah Agung RI dan daerah hukumnya ialah seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Adapun kekuasaan pengadilan militer pertempuran adalah memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana di daerah pertempuran. Pengadilan militer pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pertempuran dan berkedudukan serta berada di daerah pertempuran.
Dulu, sebelum adanya perturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1977 tentang jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata an perkara pidana oleh pengadilan Agama dan Pengadilan Militer, maka keputusan yang diberikan oleh Mahkamah Militer Agung merupakan putusan akhir yang mempunyai keputusan hukum tetap. Jadi putusan-putusan pengadilan militer tidak bisa dmintakan kasasi di Mahkamah Agung. Sebab tidak ada pemeriksaan hukum acara pemeriksaan kasasi. Tetapi dengan adanya perturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1977 tersebut, yang dikeluarkan pada tanggal 26 November 1977, maka keputusan pengadilan militer pun dapat dimintakan pemeriksaan kasasi yaitu dengan menggunakan hukum kasasi yang termuat dalam UndangUndang no.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang no.1 tahun 1950 kemudian diganti dengan Undang-Undang No.14 Tahun 1985, dan hukum acara kasasi sekarang termuat dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang juga  berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan badan peradilan miiter.

4.  Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan dalam lingkungan badan peradilan Tata Usaha Negara mempunyai wewenang menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan prekara-prekara atau sengketa Tata Usaha Negara yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Baik dipusat maupun di daerah. Sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan ”keputusan tata usaha negara” adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarakan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan uraian tersebut, maka apabila dirinci tugas dan kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara meliputi : (1) memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding, (2) memeriksa dan mengutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya, dan (3) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara dalam hal suatu badan atau pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelewaikan secara  adaministrasi sengketa Tata Usaha Negara.
Adapaun yang tidak termasuk dalam pengertian keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang No.8 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu (1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; (2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan, (4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikelurakan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana, (5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha TNI, dan (7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Pengadilan dalam Tata Usaha Negara ini terdiri dari pengadilan Tata Usaha Negara yang memeriksa dan memutusakan perkara pada tingkat pertama dan pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat banding, Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau di kabupaten, dalam daerah hukum meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Kendatipun mengenai pelaksanaan peradilan dari semua badan peradilan berpuncak di Mahkamah Agung, namun permbinaan organisasi, administrasi, dan keuangan badan peradilan dilakukan oleh departemen masing-masing. Badan peradilan umum dibina oleh Kementerian Hukum dan HAM, badan peradilan agama dibina oleh Kementerian Agama, badan peradilan militer dibina oleh Kementerian Pertahanan, dan badan peradilan Tata Usaha Negara dibina oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh kementerian-kementerian ini tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan sesuatu perkara.
Pemberian kepada kekuasaaan kehakiman dalam melaksanakan peradilan memang sudah selayaknya, karena perbuatan mengadili adalah perbuatan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap sesuatu perkara yang semata-mata harus didasarkan pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Harus dijauhkan dari tekanan dan pengaruh dari pihak manapun baik oknum, golongan masyarakat, apabila suatu kekuasaaan pemerintah yang biasanya mempunyai jaringan yang kuat dan luas, sehingga dikhawatirkan pihak lainnya yang lemah akan dirugikan. Semua badan peradilan tersebut dalam melaksanakan tugasnya harus menerpakan dan menegakkan hukum dan keadilan bedasarkan Pancasila.
Realisasi dasar Pancasila terutama dapat dilihat dalam setiapputusan pengailan memakai kepala yang berbunyi ”Demi keadilan Yang Bedasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Semuanya itu merupakan jaminan yang sebaik-baiknya oleh kekuasaan kehakiman kepada pencari keadilan yang berperkara di pegadilan, yang tidak akan dibedakan kedudukan atau martabatnya.
Peradilan juga harus memenuhi harapan pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses yang bertahun-tahun, bahkan kadang-kadang harus dilanjutkan oleh ahli waris pencri keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.
Oleh karena pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangna badan peradilan dilakukan oleh masing-masing departemen, maka dalam hal ini dipandang oleh sementara ahli sebagai intervensi dari kekuasaan eksekutif di bidang yudikatif yang mengganjal kebebasan peradilan di Indonesia. Ibaratnya seorang hakim di Mahkamah Agung, sedangkan perutnya bergantung di departemen. Selain itu kebebasan peradilan dapat juga dipengaruhi oleh aparat keadilan sendiri. Ini meungkin terjai sebagai konskuensi logis dari adanya saran-saran/ pendapat-pendapat yang berasal dari lembaga peradilan kepada pemerintah (pasal 25 Undang-Undang No.14 Tahun 1970) atau dimasukannya unsur peradilan dalam MUSPIDA di daerah-daerah.
Demi unifikasi kekuasaan peradilan, maka berdasarkan ketentuan perundang-undangan badan-badan peradilan tersebut berada dalam satu atapyaitu dibawah kementerian Hukum dan HAM dengan puncaknya pada Mahkamh Agung dan Mahkamah Konstitusi.

















KESIMPULAN

1.      Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.

2.      Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk teagaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

3.      Secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup  di dalam masyarakat.

4.      Untuk menegakkan hukum yang berlaku didalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita harus memiliki sistem hukum yang baik, aparat penegak hukum yang bersih, dan sistem peradilan yang jujur dan berkeadilan.
























DAFTAR PUSTAKA


Sasongko, wahyu. 2010. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Bandar Lampung : Penerbit Universitas Lampung.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Iilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustakarya

Hadisoeprapto, Hartomo. 1999. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta : Liberty.

Kansil,C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Samidjo dan A. Sahal.1986.  Tanya Jawab Pengantar Ilmu Hukum. Bandung : Armico.









































Read more...
separador